Pengertian Anak Yatim dan Piatu serta Perbedaannya dalam Islam
Dalam ajaran Islam, memberikan santunan kepada anak yatim bukan hanya dianjurkan, bahkan Rasulullah menjamin surga bagi mereka yang mau membantu anak-anak tersebut.
Tidak hanya itu, Rasulullah juga mengatakan bahwa surga berada dekat dengan orang-orang yang ikhlas memberikan santunan kepada anak-anak tersebut. Namun, pertanyaannya seringkali muncul, siapa sebenarnya yang termasuk anak yang patut disantuni? Oleh karena itu, memahami definisinya menjadi penting.
Definisi Anak Yatim
Ketika membahas ini, masih banyak orang yang belum memahami siapa sebenarnya yang disebut sebagai anak yatim? Secara bahasa, “yatim” memiliki arti infirad atau sendiri.
Dalam bahasa Arab, segala sesuatu yang hidup sendiri disebut yatim. Sebagai contoh, istilah al-yatimah mengacu pada janda yang hidup sendiri. Menurut Ali bin Muhammad al-Jurjani, anak yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya, sedangkan pada hewan, yatim adalah hewan yang kehilangan induknya.
Jadi, dalam konteks syariah, seorang anak yatim adalah anak yang belum baligh yang ditinggal mati oleh ayahnya. Batas usia seorang anak disebut yatim adalah ketika telah mencapai usia baligh.
Perbedaan Anak Yatim dan Piatu
Orang-orang yang bersikap mulia dengan menyantuni anak-anak kurang beruntung akan mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT, baik di dunia maupun akhirat. Namun, terkadang terdapat kebingungan antara istilah anak yatim dan piatu, padahal keduanya memiliki perbedaan yang jelas.
Dalam Islam, anak yatim adalah anak yang belum baligh ditinggalkan oleh ayahnya, sedangkan anak piatu adalah anak yang belum baligh ditinggalkan oleh ibunya. Anak yatim piatu adalah anak yang belum baligh dan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.
Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, pemberian santunan kepada anak yatim piatu menjadi tindakan mulia. Pada tanggal 10 Muharram, yang dikenal sebagai Hari Anak Yatim, umat Islam berbondong-bondong memberikan santunan kepada mereka. Namun, untuk memberikan bantuan dengan lebih baik, penting untuk memahami perbedaan antara anak yatim dan piatu.
Batas Usia Anak Yatim dalam Islam
Ketika mengunjungi panti asuhan, tidak semua anak di sana memiliki status anak yatim, karena beberapa di antaranya sudah baligh. Jika seseorang berencana mengadopsi anak kurang beruntung, sebaiknya mencari yang belum mencapai usia baligh.
Bagaimana cara membedakannya? Caranya sederhana, yaitu dengan mengetahui batas usia anak yatim terlebih dahulu. Penetapan usia baligh bagi anak yatim dan piatu melibatkan empat faktor, termasuk pengalaman mimpi basah, menstruasi pada perempuan, pertumbuhan bulu di area kemaluan, dan batas usia minimal untuk laki-laki dan perempuan.
Adapun batas usia minimal anak laki-laki dan perempuan yang dianggap baligh masing-masing adalah 15 tahun dan 9 tahun.
Adab kepada Anak Yatim
Anak yatim, yang telah kehilangan ayahnya, memiliki posisi yang dicatat dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagai sesama umat muslim, kita memiliki adab dan kewajiban untuk bersikap baik kepada mereka.
Berbuat baik kepada anak yatim, seperti yang diperintahkan dalam surat An-Nisa ayat 36, mencakup pemberian ketenangan dan kesejahteraan dalam hidup mereka. Sikap kasih sayang akan membantu meringankan beban dan meningkatkan semangat hidup anak yatim.
Surat Al-Fajr ayat 17 menegaskan larangan untuk merendahkan atau menghina anak yatim, sementara surat Al-Israa ayat 34 mengajarkan untuk memuliakan mereka.
Berbagai adab yang wajib dilakukan oleh umat muslim terhadap anak yatim meliputi berbuat baik, memuliakan mereka, mengurus dengan patut dan adil, tidak membedakan, memberi santunan, memperbaiki rumah mereka, dan melindungi harta mereka.
Dalam Islam, anak yatim bukan hanya mendapatkan perhatian dalam hal materi, tetapi juga dalam aspek psikis. Melalui berbagai ayat Al-Qur’an, Islam menegaskan larangan mendekati harta anak yatim secara zalim dan mewajibkan perlindungan terhadap harta benda mereka.
Dengan begitu, Islam mengajarkan kepedulian yang mendalam terhadap anak yatim, menunjukkan bahwa kebaikan terhadap mereka merupakan tanda keimanan, ketakwaan, dan kemuliaan seorang muslim. Ganjaran baik seperti pahala berlipat-lipat, rezeki lapang, dan dimasukkan dalam golongan orang beriman dan bertakwa menanti orang yang mengasihi dan menyantuni anak yatim. Dalam agama Islam, kepedulian terhadap anak yatim bukan hanya sebagai tindakan kemanusiaan, melainkan sebagai bentuk ibadah dan amal kebaikan yang mendatangkan keberkahan dari Allah SWT.